Sejarah Nu Lengkap

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Sejarah Nu Lengkap

Masduki Doank
Jumat, 19 April 2019

Hari ini, 16 Rajab 1438 Hijriyah, ialah hari lahir organisasi Islam terbesar di Indonesia—dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU). Tepat 94 tahun yang kemudian dalam kelender hijriyah, dimotori duo KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, sejumlah kiai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Madura berkumpul di kediaman Kiai Wahab di Surabaya, menyepakati perkumpulan yang bahu-membahu sudah mempunyai embrio jauh sebelum itu.

Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah kiai yang kelak mendirikan NU telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air (1916) serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar (1918). Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya (1914) juga mendirikan kelompok diskusi yang ia namai Taswirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran. Nahdlatul Ulama tak lain ialah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya tersebut, namun dengan cakupan yang lebih luas.
Pada awal 1920, Nusantara masih dikuasai penjajah Belanda. Rakyat masih miskin dan bodoh, alasannya ialah sumber daya ekonomi dikuasai Belanda dan sekolah hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi yang direncanakan dan didesain untuk menjadi ambtenaar Belanda. Di desa-desa, rakyat jelata berkubang dalam kemiskinan dan kebodohan.
Didorong oleh realitas tersebut dan juga semangat mengamalkan ilmu yang didapat, kiai-kiai, kalangan muslim-tradisional terdidik yang tinggal di desa, mulai mendirikan pesantren untuk mendidik orang-orang desa dari buta huruf dan tuna pengetahuan. Sebagian besar yang diajarkan nilai-nilai agama, namun pada kenyataannya mereka yang nyantri belajar lebih dari itu. Dengan adanya pesantren, banyak warga desa yang sebelumnya tidak bisa baca tulis menjadi bisa baca tulis, namun dalam bentuk Arab pegon. Tapi dari situlah transformasi pengetahuan, wawasan dan literasi terjadi.
Dengan makin banyaknya pesantren, masyarakat yang memeluk Islam juga makin banyak. Namun berbeda dengan kalangan pembaharu puritan yang mendorong pemurnian Islam dari tradisi-tradisi lokal yang dianggap bid’ah, kiai-kiai pesantren mendapatkan dan mengasimilasikan tradisi lokal dengan nilai-nilai Islam. Sehingga warga pribumi Jawa tidak merasa tercerabut dari akarnya ketika memeluk dan mempraktekkan anutan Islam.
Namun tekanan kaum puritan yang mengatasnamakan kembali kepada Qur’an dan Hadist menciptakan banyak kiai merasa tidak nyaman. Tekanan terbesar terhadap kelompok pesantren terjadi ketika terjadi perubahan di Timur Tengah, yang mana Abdul Aziz bin Abdul Rahman atau dikenal dengan sebutan Ibnu Saud menguasai Mekah-Madinah. Ibnu Saud yang berpandangan Wahabi hendak menerapkan azas tunggal Wahabi dan memberangus madzhab-madzhab lain di dua daerah suci orang Islam tersebut dan ingin menghancurkan situs-situs peninggalan Nabi yang dianggap bisa menyeret pada kemusyrikan.
Para kiai pesantren yang sebagian pernah berguru di Mekah-Madinah pun saling berkomunikasi dan membahas problem tersebut. Setelah lewat proses komunikasi yang panjang, KH Wahab Chasbullah beserta KH Hasyim Asy’ari mengundang sejumlah kiai untuk rapat di Surabaya, di kediaman Kiai Wahab. Di situ disepakati bahwa kiai-kiai hendak mengirim utusan untuk mengajukan keberatan kepada Raja Abdul Aziz. Pertemuan yang dikenal dengan istilah Komite Hijaz melahirkan sejumlah tuntutan, diantaranya:
1. Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memperlihatkan kemerdekaan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz.
2. Memohon supaya tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman Nabi tidak dihancurkan, termasuk makam puteri-puteri Nabi.
3. Meminta supaya biaya yang dikenakan kepada jemaah haji diumumkan ke publik dunia.

Namun untuk bisa mengirimkan surat dan utusan ke Saudi, para kiai butuh payung organisasi. Maka dari itulah, diikuti kesadaran wacana pentingnya berjam’iyah sebagaimana disitir KH Hasyim Asy’ari di Mukadimah Qanun Asasi NU, maka para kiai tersebut menyepakati membentuk organisasi dengan nama Nahdlatul Ulama. Meski pembahasan wacana keberatan terkait kebijakan Ibnu Saud sudah dibahas dikala pendirian NU pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, namun alasannya ialah aneka macam hambatan delegasi ke Arab Saudi yang diwakili oleh KH Wahab Chasbullah serta Syaikh Ahmad Ghonaim Al-Mishri gres bisa berangkat 7 Mei 1928 atau 5 Syawal 1346 Hijriyah, dua setengah tahun sesudah NU berdiri.
Komite Hijaz boleh dikata ialah produk politik pertama Nahdlatul Ulama, yang memperlihatkan semangat organisasi ini dalam memperjuangkan kebebasan bermadzhab dalam Islam. Dalam sejarahnya, NU memang tampil sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia yang bisa mendapatkan tradisi-tradisi lokal serta menyesuaikan diri terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Almuhafadhoh alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “Memelihara yang usang yang baik dan mengambil yang gres yang lebih baik.”
NU juga dikenal sebagai organisasi yang tak mempertentangkan antara kebangsaan dan keislaman. Di Indonesia, menyadari kebhinekaan yang ada, NU mendapatkan Pancasila dan tak menuntut syariat Islam diterapkan secara formal. Maka tak heran NU sering disebut salah satu soko guru negara-bangsa Indonesia.
Sikap terbuka NU atas keragaman dan perbedaan tidak mengherankan, selain alasannya ialah dipengaruhi budaya eklektik Nusantara juga alasannya ialah NU mempunyai prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi aneka macam persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam perilaku radikal atau ekstrem (tathorruf).
Di NU, perdebatan dan perbedaan menjadi sesuatu yang biasa dan diterima, tak jarang dengan canda-tawa. Di forum-forum rapat atau bahtsul-masail NU, kiai-kiai bisa berdebat dengan sengit tapi ketika situasi sudah sangat panas maka ada saja yang melempar joke/guyonan yang menciptakan jamaah lembaga tertawa bersama.
NU memang unik. Hari lahir NU juga terbilang unik. Karena tiap tahun Harlah NU diperingati dua kali, 16 Rajab serta 31 Januari. Peringatan pertama berdasar kalender hijriyah, peringatan kedua berdasar masehi. Berdasar dua penanggalan berbeda itu, umur NU kesannya juga berbeda. Jika berdasar hijriyah umur NU sudah 94 tahun, sedang jikalau berdasarkan perhitungan masehi umur NU gres 91 tahun.